1.
Perubahan Struktur Ekonomi
·
Suatu proses pembangunan
ekonomi yang cukup lama dan telah menghasilkan suatu pertumbuhan ekonomi yang
tinggi biasanya disusul dengan suatu perubahan mendasar dalam struktur
ekonominya. Perubahan struktur ekonomi terjadi akibat perubahan sejumlahf
aktor, bisas hanya dari sisi permintaan agregat, sisi penawran agregat atua
dari kedua sisi pada waktu yang bersamaan (Tulus Tambunan, 1996).
·
Dari sisi permintaan agregat,
faktor yang sangat dominan adalah peningkatan tingkat pendapatan masyarakat
rata-rata yang perubahannya mengakibatkan perubahan dalam selera dan komposisi
barang-barang yang dikonsumsi. Hal ini menggairahkan pertumbuhan industri baru.
·
Dari sisi penawaran agregat,
faktor utamanya adalah perubahan teknologi dan penemuan bahan baku atau
material baru untuk berproduksi, yang semua ini memungkinkan untuk membuat
barang-barang baru dan akibat realokasi dana investasi serta resources utama
lainnya dari satu sektor ke sektor yang lain. Realokasi ini disebabkan oleh
kebijakan, terutama industrialisasi dan perdagangan, dari pemerintah yang
memang mengutamakan pertumbuhan output di sektor-sektor tertentu, misalnya
industri (Tulus Tambunan, 1996).
2.
Profil Perekonomian Indonesia
Akhir Pelita V
·
Profil ekonomi memberikan
gambaran luar atau pola garis bentuknya (countour), sedangkan strktur ekonomi
menggambarkan bagian dalamnya (anatomi) suatu perekonomian.
Profil perekonomian Indonesia menjelang akhir Pelita V ditunjukkan
oleh empat segi yang kait mengkait dalam perkembangan keadaan, yaitu :
pertumbuhan ekonomi, lapangan kerj aproduktif, neraca perdangan dan pembayaran
luar negeri, perkembangan harga dalam negeri (infalsi). Empat segi permasalahan
itu sekaligus dijadikan serangkaian tolok ukur dalam penilaian kita tentang
jalannya perekonomian dalam perjalanan waktu.
(Soemitro Djojohadikusumo, 1993).
a.
Pertumbuhan Ekonomi
Ø Kebijaksanaan deregulasi sejak tahun 1983 mendorong terjadinya
ekspansi ekonomi dan ekspansi moneter. Serangkaian deregulasi mendorong kegitan
swasta untuk melakukan ekspansi ekonomi. Sementara meningkatnya permintaan
domestik, baik permintaan untuk konsumsi maupun untuk investasi, mendorong
terjadinya ekspansi moneter.
Ø
Ø Ekspansi ekonomi ditandai oleh :
1)
Meningkatnya lalu pertumbuhan
ekonomi (GDP): 7,5%, 7,1%, 6,6%, (1989, 1990, 1991).
2)
Meningkatnya laju pendapatan
bruto (GDY): 7,5%, 10,5%, 7,1% (1989, 1990, 1991).
3)
Meningkatnya investasi sektor
swasta): 15,0%, 17,0% (1989, 1990).
Ø Ekspansi moneter ditandai oleh :
1)
Meningkatnya jumlah uang
beredar (M2): 40%, 44%, 7,1% (1989, 1990).
2)
Meningkatnya volume kredit
bank: 48%, 54% (1989, 1990).
3)
Meningkatnya laju inflasi:
5,5%, 9,5% (1989, 1990).
Ø Ekonomi terlalu panas (overheated)
Ekspansi ekonomi yang ditandai oleh laju pertumbuhan pesat selama
tiga tahun berturut-turut dianggap terlalu panas (overheated) dari sudut
kestabilan keuangan moneter. Bila hal ini dibiarkan berlangsung terus akan
membahayakan kestabilan harga dalam negeri dan melemahkan neraca pembayara luar
negeri. Karena itu pemerintah melakukan kebijaksanaan uang ketat (TMP = Tigh
Money Policy)
Ø Kebijaksanaan Uang Ketat (TMP) meliputi :
1)
Kebijaksanaan fiskal/ keuangan
negara
-
Meningkatkan penerimaan pajak
untuk tahun fiskal 1991/1992 dan 1992/1993.
-
Penerimaan dari sektor
non-migas dapat melebihi sasarannya, sehingga tahun fiskal 1991/1992 secara
riil tercapai surplus pada anggaran negara.
2)
Kebijaksanaan Moneter/ Perbankan
-
Melakukan politik diskonto
(suku bunga) dan open market operation melalui SBI, untukmembatasi kredit
perbankan.
-
Mengawasi nisbah likuiditas
bank terhadap volume kredit (LDR : Loan to Deposit Ratio), dan nisbah kekuatan
modal bank (CAR = Capital Adeuqcy Ratio).
-
Dampak dari TMP adalah
menurunnya pertumbuhan ekonomi pada tahun 1991 menjadi 6,6% di samping karena
musim kemarau yang panjang.
b.
Neraca Pembayaran Luar Negeri
Neraca Perdagangan dan pembayaran luar negeri menunjukkan
perkembangan yang perlu terus diamati dan diawasi dengan seksama, khususnya
yang menyangkut transaksi berjalan.
1)
Neraca Perdagangan dan Neraca
Jasa
Ø Laju pertumbuhan ekspor rata-rata 15% (1989-1991) dengan nilai US$19
miliar (1988) meningkat hampir US$30 miliar (1991), jenisnya : 52% barang
manufaktur, 37% migas dan non-migas 11% (ada diversifikasi ekspor).
Ø Laju pertumbuhan impor rata-rata 25% (1988 – 1991), jenisnya:
sebagian besar berupa peralatan barang modal dan bahan baku.
Ø Meskipun laju pertumbuhan impor lebih besar dari pada laju
pertumbuhan ekspor, namun total nilai ekspor masih lebih besar dibandingkan
impor, sehingga masih menghasilkan saldo surplus (positif). Akan tetapi neraca
jasa, terutama karena bearnya beban pembayaran jasa pemakaian modal (bunga
hutang luar negeri) selalu menghasilkan saldo defisit (negatif). Akibatnya
transkasi berjalan selalu mengalami defisit, yang cenderung makin besar: US$1,6
miliar (1989), membengkak menjadi US$4,5 miliar (1992).
2)
Neraca Modal dan Cadangan
Devisa
Ø Neraca Modal mencatat perhitungan transaksi lalu lintas modal
(pemasukan dan pengeluaran modal atau devisa). Oleh pemerintah selalu
diusahakan agar neraca modal ini menghasilkan saldo surplus (positif) untuk
menutup defisit transaksi berjalan.
Ø Selama periode yang sama (1992) defisit transaksi berjalan dapat
diimbangi oleh pemasukan modal (pinjamanluar negeri pulsu investasi langsung)
sebesar US$5,6 miliar setahun. Hal itu juga menambah cadangan devisa.
Ø Jumlah cadangan devisa yang langsung dikuasai oleh Bank Indonesia
meningkat dari US$ 6,6 miliar (1989) menjadi US$11,5 miliar. Bila ikut
diperhitungkan jumlah devisa yang berada di bank-bank di luar bank Sentral, dan
ditambah dengtan stand-by loans, maka kekuatan cadangan devisa secara nasional
adalah sekitar US$15 miliar (cukup untuk pembiayaan selama enam bulan).
3)
Pinjaman Luar Negeri
Ø Pinjaman jangka panjang dengan persyaratan lunak menjadi semakin
sulit, sedangkan pinjaman komersial menghadapi persyaratan yang semakin berat.
Ø Khusus mengenai Indonesia sudah nampak sikap was-was di kalangan
keuangan internasional. Sikap seperti itu ada sangkut pautnya dengan defisit
transaksi berjalan yang akhir-akhir ini begitu meningkat dan juga semakin
membesarnya utang luar negeri kita.
Ø Utang luar negeri Indonesia pada akhir tahun 1992 secara kumulatif
diperkirakan berjumlah US$78 miliar, meningkat hampir 40% dibandingkan 2-3
tahun yang lalu. Jumlah 78 miliar itu terdiri : pinjaman sektor publik
(pemerintah + BUMN) sebesar 45 miliar dollar.
Ø Debt Service Ratio (DSR), berdasarkan nilai ekspor bruto untuk tahun
1992 mencapai 32%, tingkat DSR sebesar 32% sudahmerupakan “Lampu Merah” (DSR :
20-25% = aman atau “Lampu Hijau”, 26-30% = “Lampu kuning”). Pinjaman swasta
justru sangat meningkat selama tahun-tahun ekspansi ekonomi (1989-1991).
Ø Sehubungan dengan kecenderungan utang luar negeri yang mengancam
stabilitas eksternal, maka pemerintah melakukan pengawasan dan pembatasan
terhadap pinjaman komersial luar negeri (Keppres No. 39 Tahun 1991). Oleh tim
dibawah Menko Ekuin :
- Dilakukan penyaringan dan penilaian prioritas
- Ditetapkan suatu pagu tahunan pinjaman komersial luar negeri
c.
Masalah Kesempatan Kerja
·
Keadaan sekarang beban
tanggungan (dependency burden) bagi tiap tenaga kerja produktif (bekerja 35 jam
seminggu) cukup berat, yaitu 1 : 4, artinya 4 orang penduduk kebutuhan hidupnya
tergantung (ditanggung) oleh 1 orang tenaga kerja produktif.
·
Hal itu mencerminkan masih
besarnya tingkat pengangguran secara terselubung (underemployment) dan gejala
low quality employment maupun pengangguran terbuka (open unemployment) di
kota-kota besar, khususnya golongan angkatan kerja yang berusia muda (15-25
tahun).
·
Beban tanggungan tahun 1990
-
Jumlah Penduduk Indonesia : 179 juta jiwa
-
Jumlah Angkatan Kerja :
72 juta jiwa
-
Angkatan Kerja yang produktif : 44
juta jiwa
Jadi beban tanggungan menjadi 179:44 = 4 (atau 1 : 4)
d.
Perkembangan Harga
·
Laju Inflasi 9,5% (1990,1991)
turun sampai 6-7% (1992). Kebijaksanaan pengendalian inflasi perlu diteruskan
sehingga dapat dicapai rata-rata 5% pada Pelita VI.
·
Pengendalian Inflasi Penting
untuk :
1)
Menjaga stabilitas ekonomi
internal dan eksternal (tekanan neraca pembayaran luar negeri)
2)
Memperkuat daya saing produk
ekspor di luar negeri
3)
Mendorong hasrat masyarakat
untuk menabung
B. PROSES TRANSFORMASI
STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA
Perkembangan ekonomi Indonesia selama masa 25 tahun berselang
diteroping dari sudut pandang tentang pembangunan ekonomi sebagai proses
transisi yang dalam perjalanan waktu ditandai oleh transformasi
multidimensional dan menyangkut perubahan pada struktur ekonomi. Akan ditinjau
beberapa pokok dalam perubahan struktur selama lima tahap Pelita (Pembangunan
Jangka Panjang Tahap I).
(Soemitro Djojohadikusumo, 1993).
1.
Proses Akumulasi Sumber Daya
Produksi
·
Sumber dayaproduksi adalah
aset-aset produktif atau faktor-faktor produksi (Tanah, tenaga kerja, kapital
produksi (output) diperlukan peningkatan atau tambahan faktor-faktor produksi
(input).
·
Akumulasi menyangkut proses
pembinaan sumber daya produksi (produktive resources) untuk meningkatkan
kemampuan berproduksi secara kontinu. Selama masa pembangunan 25 tahun telah
terjadi akumulasi sumber daya produksi dalam jumlah yang besar dan sangat
berarti.
·
Indikator adanya akumulasi
sumber daya produksi :
1)
Produk domestik bruto (PDB,
GDP) secara riil meningkat 4 kali lipat. Tingkat hidup rata-rata (GDP per
kapita) meningkat 2,5 kali lipat.
2)
Keberhasilan penyediaan pangan
: Pelita I sebagai negara pengimpor beras terbesar, sedangkan akhir Pelita III sudah mencapai swasembada beras.
3)
Keberhasilan melaksanakan Program
Keluarga Berencana (KB) : dari Pelita I – Pelita V (25 tahun) tingkat
pertambahan penduduk turun dari 2,5% menjadi 1,7%.
4)
Pertumbuhan ekonomi menunjukkan
trend meningkat: meskipun lajunya mengalami siklus naik-turun. Secara rata-rata
diperkirakan masih 6,8% setahun.
5)
Investasi rata-rata per tahun
meningkat: dalam Pelita I rata-rata 15% (dari PDB), sedang dalam Pelita V
rata-rata mencapai 33%.
·
Kelemahan/ kekurangan yang
menyertai proses akumulasi :
1)
Pelaksanaan Investasi modal
kurang efisien dan efektif : nisbah tambahan investasi terhadap tambahan hasil (ICOR = Incremental Capital Output Ratio) selama
10 tahun (1984-1993) angkanya terlalu besar, yaitu 5 (investasi rata-rata
33,4%, laju pertumbuhan ekonomi 6,8% sehingga ICOR = 33,4 : 6,8 = 4,9 atau
dibulatkan 5).
Ø Memang benar bahwa dalam proses pembangunan investasi untuk
infrastruktur bersifat slow vielding dan low vielding, tetapi sebagian
pemborosan karena kelemahan teknis dalam perencanaan, penyelenggaraan dan
perawatan proyek-proyek investasi serta kelemahan institusional (organisasi)
seperti penyimpangan, penyelewenanga. Jadi inefisiensi karena terjadinya
mismanagement
2)
Terjadi saving-investment gap
Besarnya investasi tidak diimbangi oleh tabungan nasional yang
memadai, tingkat investasi melampaui tingkat tabungan. Selama Pelita V tingkat
investasi 33,4%, sedangkan tingkat tabungan nasional hanya 29,9% (dari PN).
Ø Kekurangan dana untuk investasi sebesar 3,5% (33,4% - 29,9%) harus ditutup dengan pemasukan modal
dari luar negeri.
Ø Masalah di atas menunjukkan pentingnya usaha untuk meningkatkan
tabungan nasional dengan disertai upaya untuk menurunkan angka ICOR.
3)
Adanya Perbedaan laju
pertumbuhan sektor pertanian dan laju pertumbuhan sektor industri
Secara menyeluruh laju pertumbuhan ekonomi selama Pelita V mencapai
6,8 per tahun, dimana laju pertumbuhan sektor pertanian hanya 2,7% per tahun,
sedangkan laju pertumbuhan sektor industri mencapai 11% per tahun.
Ø Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas dan pendapatan riil di
sektor industri lebih besar sekitar 4 kali lipat daripada sektor pertanian.
Ø Tanpa intervensi aktif dari pihak kebijaksanaan negara, ketimpangan
itu cenderung berlangsung terus, bahkan akan menjadi semakin besar.
2.
Proses Alokasi Ssumber Daya
Produksi
·
Sumber daya produksi khususnya
investasi sangat penting bagi pembangunan baik secara kuantitatif (menyangkut
jumlahnya) maupun secara kualitatif (menyangkut alokasinya).
·
Alokasi sumber dayaproduksi
dalam proses pembangunan menyangkut pola penggunaan sumber daya produksi antar
sektor, antar daerah dan antar lingkungan kota dan daerah pedesaan. Selama PJPT
I telah terjadi perubahan struktural di bidang produksi dan perdagangan, namun
mengenai k esempatan kerja tetap statis.
a.
Struktur Produksi : Pelita I
(1969-1973) sektor pertanian menyumbang 44%, sektor industri 9%. Menjelang
akhir Pelita V (1989-1993) sektor pertanian menyumbang 19%, sedang sektor
industri sudah 20%. Dari sudut peranan industri, Indonesia memasuki kategori
negara semi industri.
b.
Struktur Perdagangan, dilihat
dari jenis komoditi dan sumbangannya terhadap nilai ekspor : Akhir Pelita I
(1973) sumbangan minak dan gas bumi (Migas) sebesar 75%, sumbangan sektor di
luar migas (non migas) sebesar 25%. Pada akhir Pelita V (1993) terjadi
perubahan perimbangan, yaitu dari sektor migas 34%, sedang dari sektor non
migas meningkat 66%.
-
Terjadi proses diversifikasi di
bidang produksi dan perdaganagn : Akhir Pelita V sumbangan sektor non-migas
(66%) terdiri dari : 71% produk industri, 15% produk pertanian dan 4% hasil
pertambangan.
c.
Perkembangan Kesempatan Kerja :
selama 25 tahun struktur dan sifat kesempatan kerja masih tetap statis :
Pelita I Pelita
V
(1970) (1992)
Sektor Pertanian :
-
Sumbangan Produksi 44% 18%
-
Daya Serap Kerja 56% 47%
Sektor Industri :
-
Sumbangan produksi 11% 21%
-
Daya Serap Kerja 9% 12%
Ø Jadi struktur lapangan kerja tidak banyak mengalami perubahan
(relatif statis), yakni masih tertumppu pada sektor pertanian. Sebab sumbangan
produksi yang mengalami penurunan 26%, hanya diikuti penurunan kesempatan kerja
9%. Sebaliknya sumbanga produksi sektor industri yang meningkat 10%, hanya
diikuti pertambahan kesempatan kerja 3%.
Ø Ketidakserasian antara perubahan struktur produksi dan struktur
Lapangan kerja itu ada kaitannya dengan sifat khas yang melekat pada
perekonomian Indonesia (negara berkembang), yaitu :
1)
Permintaan tenaga meningkat lebih cepat dikawasan perkotaan
2)
Mobilitas tenaga kerja antar
sektor kurang lancar
3)
Tidak akses yang sama untuk
mendapatkann modal berupa dana atau tanah yang baik
4)
Investasi dan penerapan
teknologi diutamakan di bidang modern pada masing-masing sektor
5)
Laju pertambahan penduduk
melampaui tingkat permintaan tenaga
kerja.
Ø Keadaan seperti di atas menyebabkan di antara sektor pertanian dan
sektor industri terjadi perbedaann dan ketimpangan dalam : laju pertumbuhan,
tingkat produktivitasnya dan tingkat pendapatan riilnya.
LAMPIRAN TABEL
Tabel A.2.a-b. Ikhtisar Singkat Perekonomian Indonesia
1998
|
1999
|
2000
|
2001
|
2001
|
|
Laju pertumbuhan
GDP %
Laju
pendapatan GDY %
Transaksi
berjalan (US$miliar)
Pemasukan
Modal Neto (US$miliar)
Cadangan
Devisa BI (US$miliar)
Laju Inflasi,
IHK%
Debt service
Ratoi %
(Pemerintah
Swasta)
|
2,5
2,3
-1,8
n.a
5,8
4,3
25,3
|
5,8
2,1
-1,9
2,6
6,2
5,5
34,4
|
7,1
10,5
-3,7
6,8
8,7
9,5
30,1
|
6,6
7,1
-4,4
5,6
9,9
9,5
30,1
|
6,0
6,0
-4,5
4,4
11,3
6,7
31,97
|
Sumber : Center
for Policy Studies (CPS), Jakarat (Soemitro Djojohadikusumo, 1993).
PEREKONOMIANN INDONESIA
Munawir, SE
POKOK BAHASAN :
V. ORMASI STRUKTURAL PEREKONOMIAN INDONESIA (BAGIAN 2)
3.
Proses Distribusi Pendapatan
·
Ketimpangan dalam distribusi
pendapatan (baik antar kelompok berpendapatan, antar daerah perkotaan dan
pededaan, atau antar kawasan dan propinsi) dan kemiskinan merupakan dua masalah
yang masih mewarnai perekonomian Indonesia.
·
Pada awal pemerintahan Orde
Baru, perencanaan pembangunan ekonomi di Indonesia masih sangat percaya bahwa
apa yang dimaksud dengan trickle down effect akan terjadi: namun setelah
sepuluh tahun sejak Pelita I dimulai, mulai kelihatan bahwa efek yang dimaksud
itu mungkin tidak tepat dikatakan sama sekali tidak ada, tetapi proses
mengalirnya ke bawahnya sangat lambahn. (Tulus Tambunan, 1996).
·
Masalah distribusi pendapatan
menyangkut kemiskinan, baik kemiskinan absolut maupun ktimpangan relatif.
Distribusi pendapatan dan kemiskinan hendaknya dilihat dalam kerangka acuan
suatu analisis, bersamaan dan berkaitan dengan proses akumulasi dan alokasi.
Dengan kata lain, akumulasi, alokasi dan distribusi harus dilihat dalam saling keterkaitannya
dan dalam kerangka acuan yang kencakup dinamika dalam proses transformasi
secara menyeluruh selama masa transisi.
(Soemitro Djojohadikusumo, 1993).
a.
Kemiskinan Absu\olut
Ø Tahun 1976: jumlah penduduk 137 juta jiwa, 54 juta jiwa (40%) hidup
di bawah garis kemiskinan. Tahun 1990 : jumlah penduduk 179 juta jiwa, yang
hidup di bawah garis kemiskinan tinggal 27 juta jiwa (15,%). Kecenderungan
kearah perbaikan itu diharapkan dapat berlangsung terus sehingga ditahun 2000
golongan yang dhiup di bawah garis kemiskinan mencakup 5-10% dari jumlah
penduduk saat itu.
(Soemitro Djojohadikusumo, 1993).
Ø Masalah kemiskinan ini diperlihatkan melalui analisa
sensivitas,yaitu apabila poverty line (garis batas kemiskinan) dirubah dari
konsumsi per hari Rp 930 untuk kota dan Rp 608 untuk desa menjadi RP 1.000 maka
jumlah orang miskin akan meningkat dari 25,6 juta (1993) menajdi 77 juta. Itu
berarti terdapat indikasi bahwa walaupun jumlah penduduk di bawah poverty line
turun dari 27 juta (1990) ke 25,5 juta (1993), penduduk yang hidup dalam
kondisi nyaris miskin atau hidup pada poverty line di 1993 makin banyak
(Sjahrir, 1996).
b.
Ketimpangan Relatif
·
Tahun 1976: 40% dari jumlah
penduduk yang termasuk golongan berpendapatan rendah hanya menerima kurang dari
12% dari pendapatan nasional, yang menunjukkan ketimpangan mencolok (gross
inequality). Tahun 1990 : golongan berpendapatan rendah yang dimaksud menerima
21% lebih dari pendapatan nasional yang berarti ketimpangan menjadi lumayan
kecil (low inequality).
(Soemitro Djojohadikusumo, 1993).
·
Menarik disini melihat bahwa 77
juta (yang nyaris miskin) itu meliputi 67 juta manusia yang hidup di desa dan 10 juta yang hidup di
kota. Pandangan Michael Lipton (176) bahwa : konflik kelas yang paling penting
di negara msikin di udnia kini bukanlah antara buruh dan modal, juga bukan
antara kepentingan asing dan nasional. Konflik yang paling penting justru
antara kelas pedesaan dan kelas kota. (Sjahrir, 1996).
·
Sekarang ini tingkat pendapatan
rata-rata per kapita di Indonesia sudah jauhlebih tinggi dibandingkan dengan 30
tahun yang lalu, yakni sekitar US$880. namun, apa artinya jika hanya 10% saja
dari jumlah penduduk ditanah air yang menikmati 90% dari jumlah pendapatan
nasional, sedang sisanya (90%) hanya menikmati 10% dari pendapatan nasional
atau kenaikan pendapatan nasional selama ini hanya dinikmati oleh kelompok 10%
tersebut. jadi, dalam kata lain, pembangunan ekonomi di Indonesia akan
dikatakan berhasil sepenuhnya bila tingkat kesenjangan ekonomi antara kelompok
masyarakat miskin dan kelompok masyarakat kaya bisa diperkecil (Tulus Tambunan,
1996).
·
Disisi berlaku satu kaidah
dalam statistik yang disebut the
importance of being unimportant. Artinya ada satu kelompok yang jumlhanya
sangat kecil tetapi berpendapatan sangat tinggi, yang mengakibatkan tertariknya
angka konsumsi rata-rata ketingkat 82.226 ruiah (1993), walauun lebih dari 82%
penduduk sebenarnya berpendapatan di bawah Rp 60.000 per bulan per kapita
(Sjahrir, 1996).
4.
Proses Perubahan Institusional/ Kelembagaan
Kesenjangan mengandung dimensi ekonomis-sosiologis dan dimensi
ekonomis-regional :
a.
Dimensi Ekonomis – Sosiologis :
·
Ini menyangkut ketimpangan pada
perimbangan kekuatan di antara golongan-golongan pelaku ekonomi, yaitu secara
spesifik: antara saudagar besar di bidang niaga dan industri, golongan pedagang
perantara (tengkulak) dan golongan produsen kecil (petani rakyat, pengrajin,
pengusaha industri kecil/ menengah, pedagang eceran).
·
Golongan produsen kecil/
menengah meliputi sebagian besar rakyat penduduk sebagai produsen dan sekaligus
sebagai konsumen. Kedudukan ekonominya sangat lemah dihadapkan dengan kekuatan
saudagar besar dan para pedagang
perantara dala jaringan mata rantai niaga dan industri.
·
Salah satu sasaran pokok
kebijaksanaan pembangunan ialah mewujudkan perubahan struktural di bidang
ekonomi-sosiologis dalam arti: transformasi dari ketimpangan menjadi
keseimbangan di antara kekuatan-kekuatan golongan saudagar besar, golongan
pedagang perarntara, golongan produsen kecil. Kepentingan produsen-kecil dan
menengah itu ada di bidang pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan maupun di bidang
perindustrian, pengangkutan dan perdagangan.
·
Kesempatan usaha lebih banyak
dimanfaatkan oleh kaum saudagar dengan konglomeratnya. Hal ini cenderung
menambah lagi pemusatan kekayaan dan kekuatan ekonomi yang pada gilirannya
mengganggu pembagian pendapatan secara lebih merata.
·
Dalam hubungan dengan ketimpangan pada perimbangan kekuatan pelaku
ekonomi harus dilihat peran gerakan koperasi sebagai alat perjuangan ekonoi
bagi kaum produsen kecil. Pengembangan koperasi harus dilakukan melalui dua
jalur utama yang saling berkaitan :
1)
Pendidikan tentang falsafah dan
jiwa koperasi dengan mengadakan latihan ketrampilan dan keahlian tentang
pengelolaan dan penyelenggaraan usaha koperasi.
2)
Penyediaan sarana produksi
berupa dana dan peralatan, antara lain melalui suatu Badan Investasi untuk
koperasi yang dapat beperan semacam investment
trust khusus untuk pembinaan koperasi primer.
b.
Dimensi Ekonomis Regional
Dalam kaitan ketidakseimbangan perekonomian antar daerah, kita
dihadapkan dengan suatu dilema yang disebut dualisme teknologis. Dilema
dualisme teknologis ini ditunjukkan oleh gejala :
1)
Adanya perbedaan dan
ketimpangan pola dan laju pertumbuhan di antara berbagai kawasan dalam batas
suatu nwegara (atau secara regional dan internasional di berbagai belahan
dunia)
2)
Perbedaan tersebut tidak
semakin berkurang, melainkan cenderung menjadi semakin besar.
3)
Kesemuanya itu disebabkan
karena adanya apa yang dikenal sebagai cumulative
causation, yaitu proses sebab-akibat yang mengandung dampak secara
kumulatif.
4)
Kalau hal itu dibiarkan tanpa
intervensi kebijaksanaan negara, maka perkembangan proses cumulative causation
selanjutnya akan menciptakan dua lingkaran kegiatan sekaligus :
-
Lingkaran kegiatan yang semakin
bermanfaat (various circle) bagi
kawasan yang sudah maju.
-
Lingkaran setan/ yang banyak
membawa mudarat (vacious circle) bagi
kawasan yang ketinggalan.
Sehingga daerah yang kaya
semakin kaya sedang yang miskin semakin miskin, karena adanya cumulative
causation itu menyebabkan virtuous circle bisa berlangsung terus berdampingan
dengan vircious circle
-
Bagi Indonesia sebagai negara
kepulauan, dilema dualisme teknologi menonjol karena adanya asimetri (ketidakserasian) antara lokas penduduk dan
lokasi sumber daya alam. Sebagian besar penduduk terpusat di Pulau Jawa,
sedangkan kebanyakan sumber alam tgerletak di kepulauan yang lain. Sehingga
timbul kecenderungan di Pulau Jawa berkembang industri yang didasarkan atas
peranan tenaga kerja (Iabour-based industries), sedang di luar jawa berkembang
industri yang berdasarkan pengembangan sumber daya alam
(resource-basedinsutries) yang bersifat padat modal dengan penggunaan teknologi
maju.
-
Kini yang menonjok
ketidakseimbangan ekonoim antara bagian
Barat dan Bagian Timur dalam wilayah kepulauan tanah airkita. Ketidakseimbangan
ekonoim antar daerah harus dapat ditanggulangi dengan peningkatan perhubungan
antar pulau dan pelayaran pantai beserta prasarananya.
-
Kini nampak pentingnya
pengembangan agro-based industries
yaitu pengembangan industri pengolahan di luar Jawa bagi bahan pertanian dalam
arti luas (perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, hotkultura).
Agro-industry ini memegang peranan strategis dalam menjembatani
dualisme teknologis sebab memenuhi 4 persyaratan yang penting :
1)
Penggunaan bahan setempat yang
melimpah
2)
Menciptakan lapangan kerja
produktif
3)
Memberikan nilai tambah
4)
Menambah penerimaan devisa bagi
negara
(Soemitro Djojohadikusumo, 1993)
-
Sektor agrobisnis terdiri atas
4 subsistem:
1)
Subsistem agrobisnis hulu
Kegiatan yang menghasilkan
sarana produksi pertanian primer (benih, pupuk, pestisida dan lain-lain)
2)
Subsistem usaha tani
Menggunakan sarana produksi pertanian untuk menghasilkan komoditi
pertanian primer.
3)
Subsistem agrobisnis hilir
Kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas pertanian primer menjadi
produk olahan serta melakukan perdagangan.
4)
Subsistem penunjang (supporting
institutions)
Kegiatan yang menyediakan jasa yang dibutuhkan sektor agrobisnis
(perbankan, infrastruktur, transportasi, litbang dan kebijaksanaan pemerintah).
-
Pertanian mendapat prioritas
pada tahap awal pembangunan terutama dalam peranannya sebagai penyedia pangan
yang cukup. Akan tetapi setelah swasembada pangan yang cukup. Akan tetapi
setelah swasembada pangan dicapai pada tahun 1984, kebijakan pembangunan
ekonomi lebih diarahkan kepada “broad
based and hi-tech industry”. Inilah awal dari kurang keberpindahan kepada
pertanian dan agrobisnis pada umumnya.
(Saragih, 1998, dikutip Anna S.N Dasril, 1998)
C. ANALISIS KEBIJAKAN
TRANSFORMASI STRUKTURAL
·
Program penyesuaian ekonomi
struktural dan reformasi ekonomi yang dilakukan pemerintah Indonesia sejak
anjloknya harga minyak di pasar dunia pada pertengahan tahun 1980-an mencakup
empat kategori besar, yaitu (1) Pengaturan nilai tukar rupiah (excahge rate
menagement), (2) Kebijakan fiskal, (3) kebijakan moneter dan keuangan, (4)
kebijakan perdagangan dan deregulasi atau reformasi di sektor riil dan moneter.
Reformasi ekonomi di Indonesia di awali dengan devaluasi pertama pada tahun
1983 dan kedua pada tahun 1986 dengan tujuan meningkatkan volume ekspor
manufaktur. Hasilnya memang positif, dari 3.184 miliar dolar AS pada tahun 1986
menjadi 5.021 miliar dolar AS. Sejak perubahan strategi dari SI (substitusi
impor) ke promosi ekspor (PE) diperkuat dengan devaluasi, ada tanda-tanda bahwa
ekspor manufaktur Indonesia akan meningkat terus. Dilihat dalam periode 12
tahun, dari tahun 1980 hingga tahun 1992, nilai ekspor komoditas pertanian
dibandingkan PDB menunjukkan trend menurun walaupun ada fluktuasi selaam
periode tersebut.
(dikutip dari beberapa sumber oleh Tulus Tambunan, 1996).
·
Lihat Gambar (Tulus Tambunan,
1996)
Gambar 2.2
Pertumbuhan Pangsa Ekspor
Manufaktur
(Sebagai Persentase dari
PDB) di Indonesia, 1980-1992
1.
Kebijakan Pengaturan Nilai
Tukar Rupiah
·
Dalam tahun 1986/1987
pemerintah tetap menganut sistem devisa bebas yang diperlukan guna mendorong
kegiatan invstasi yang diperlukann guna mendorong kegiatan investasi, produksi
dalam negeri dan ekspor. Selain itu, dengan pengelolaan nilai tukar yang
mengambang terkendali, pemerintah tetap berusaha agar perkembangan nilai tukar
rupiah selalu mencerminkan perkembangan yang realistis untuk mempertahankan
daya saing barang ekspor serta memelihara kepercayaan masyarakat terhadap
rupiah yang pada gilirannya akan memberikan dampak positif terhadap
perekonomian secara keseluruhan.
·
Mengingat penerimaan devisa
hasil ekspor yang semakin menurun sebagai akibat merosotnya harga minyak bumi
sejak permulaan tahun 1986 dan untuk mengurangi tekanan terhadap nerraca
pembayaran, pemerintah pada 12 September 1986 mendevaluasikan rupiah terhadap
dollar AS sebesar 31%. Tindakan tersebut disamping dimaksudkan untuk
meningkatkan daya saing barang ekspor non migas dan menciptakan iklim
usaha yang lebih menarik bagi penanaman
modal, juga sekaligus untuk mencegah terjadinya aliran modal ke luar negeri.
(Laporan Bank Indonesia Tahun 1986/1987).
2.
Kebijakan Fiskal dan Keuangan
Negara
·
Dalam rangka meningkatkan penerimaan dalam negeri yang
sekaligus dapat mendorong kegiatan dunia usaha, tahun 1983/1984 pemerintah
memperbarui sistsem perpajakan yang berlaku selama ini. Sistem perpajakan yang
baru tersebut terdiri dari :
1)
UU tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (UU No. 6 Tahun 1983).
2)
UU tentang Pajak Penghasilan
(UU No. 7 Tahun 1983).
3)
UU tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak penjualan atas Barang Mewah (UU No.8 Tahun
1983).
·
Dalam tahun 1983/1984
penerimaan pajak langsung naik 15,9%, pajak pendapatan naik 38,1%, pajak
perseroan naik 12,3%, lain-lain pajak langsung naik 30,2%.
Sedangkan penerimaan pajak tidak langsung naik 17,0%: bea masuk naik
6,7%, pajak penjualann impor naik 10,8%, cukai naik 24,7%, pajak ekspor naik
26,8%, pajak tidak langsung lainnya naik 7,3%.
·
Kebijaksanaan pengeluaran
pemerintah tahun 1983/1984 diarahkan untuk penghematan pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan berupa pengurangan subsidi BBM, subsidi pupuk dan
penghapusan subsidi pangan serta penjadwalan kembali beberapa proyek besar
pemerintah (Laporan Bank Indonesia tahun 1983/1984).
3.
Kebijakan Keuangan dan Moneter/
Perbankan
·
Tanggal 1 Juni 1983 pemerintah
mengambil serangkaian kebijaksanaan yang mendasar yang dikenal “Kebijaksanaan
Moneter 1 Juni 1983”. Kebijaksanaan moneter tersebut dimaksudkan untuk
meletakkan landasan-landasan yang kokoh bagi perkembangan perbankan yang lebih
sehat di masa mendatang. Ciri pokok kebijaksanaan tersebut: Deregulasi di
bidang perbankan baik yang menyangkut perkreditan maupun pengerahan dana:
1)
Bank-bank pemerintah diberi
kebebasan penentuan sendiri suku bunga depositi maupun bunga pinjaman (kecuali
kredit berprioritas tinggi). Disamping itu, pungutan pajak atas bunga, deviden
dan royalty (PBDR) atas penerimaan bunga deposito valas dihapuskan.
Kebijakan ini untuk mendorong penghimpunan dana dari masyarakat.
2)
Bantuan kredit likuiditas Bank
Indonesia mulai dikurangi.
Kebijakan ini untuk mengurangi beban keuangan negara, karena
merosotnya penerimaan negara dari sumber migas.
3)
Pagu kredit dan sebagian besar
ketentuan pemberian pinjaman dihapus.
Kebijakan ini sebagai instrumen moneter untuk menghambat
perkembangan uang beredar. Sekarang diganti dengan instrumen moneter tidak
langsung: penentuan cadangan wajib, operasi pasar terbuka, fasilitas diskonto
dan “moral Suasion”.
4)
Sejak 1 Februari 1984 Bank
Indonesia menerbitkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan menyediakan fasilitas
diskonto.
·
Dengan SBI ini bank dapat
memanfaatkannya untuk menanamkan kelebihan sementara likuiditasnya sebelum
dipinjamkan kepada nasabah.
·
Fasilitas diksonto merupakan
bantuan dari Bank Sentral sebagai “lender of last resort”, yaitu upaya terakhir
bank-bank dalam hal bank-bank tersebut mengalami kesulitan dana yang bersifat
sementara.
(Laporan Bank Indonesia tahun 1983/1984)
4.
Kebijakan Perdagangan dan
Deregulasi Sektor Riil dan Moneter
a.
Kebijakan Perdagangan
1)
Sejak 19 Desember 1984, APE
(Angka Pengenal Ekspor, atau APES (Angka Pengenal Ekspor Sementara) dapat
digunakan untuk melaksanakan ekspor dari seluruh wilayah RI yang sebellumnya
hanya terbatas pada wilayah-wilayah tertentu saja.
2)
Bulan April 1985 dikeluarkan
Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1985 (dikenal Inpres No. 4/ 1985) tentang
penyederhanaan arus barang di pelabuhan untuk menunjang kegiatan ekonomi
khususnya untuk mendorong peningkatan ekspor non-migas.
Kebijaksanaan ini merupakan awal deregulasi di bidang perdagangan
yang menyangkut perombakan dan penyederahanaan tata laksana ekspor, pelayaran
antar pulau, pengurusan barang dan dokumen, keagenan umum perusahaan pelayaran,
dan tata laksana operasional.
3)
Untuk mendorong ekspor non
migas pada tahun-tahun berikutnya, pemerintah menetapkan serangkaian
kebijaksanaan penyelematan, antara lain paket 6 mei 1986 (dikenal Pakem 1986)
yang intinya untuk meningkatkan penerimaan devisa negara dari ekspor nonn-migas
dan beberapa kemudahan dalam penanaman modal asing.
(Rustian Kamaluddin, 1989)
b.
Deregulasi Sektor Riil dan
Moneter
·
Dewasa ini di bidang ekonomi
riil (produksi, pengangkutan, pemasaran) masih dialami banyak hambatan dan
rintangan karena adanya berbagai peraturan dan ketentuan administratif yang
berbelit-belit dan sering tumpang tindih. Hal itu menjadi sumber distorsi dalam
proses perekonomian dan belakangan ada ketentuan-ketentuan baru yang berakibat
bertambahnya berbagai rupa monopoli. Pengaturan niaga yang menciptakan monopoli/ monopsoni kini juga dilakukan oleh beberapa pemerintah
daerah.
·
Disisi lain bila diamati
seolah-olah pemerintah ragu-ragu untuk melakukan intervensi, dikala dan dimana
intervensi pemerintah justru di perlukan. Terjadi kekaburan pikiran seakan-akan
deregulasi juga berarti nonintervensi. Deregulasi bersangkut-paut dengan
meniadakan segala peraturan dan ketentuan yang mengganggu perkembangan ekonomi
dan menambah beban bagi ekonomi masyarakat.
·
Sistem ekonomi yang
berorientasi pasar sekali-kali tidak boleh menjurus pada sistem ekonomi yang
ditandai oleh dominasi pasar. Menyerahkan proses ekonomi selaluruhnya kepada
kekuatan-kekuatan pasar berarti menyerahkannya pada pihak dan golongan yang
karena kekuatan ekonominya dapat menguasai pasar yang bersangkutan. Oleh sebab
itu, intervensi negara teap penting dan tetap diperlukan.
·
Masalahnya, intervensi dengan
cara apa dan bagaimana, di bidang mana dan untuk kepentingan siapa dan golongan
yang mana.
(Soemitro Djojohadikusumo, 1993).
Sumber : www. Google.com
0 Comments