A. KAJIAN ETNOGRAFI
1) Ciri-ciri Etnografi
Model etnografi adalah penelitian untuk mendeskripsikan kebu¬dayaan sebagaimana adanya. Model ini berupaya mempelajari peristi¬wa kultural, yang menyajikan pandangan hidup subyek sebagai obyek studi. Studi ini akan terkait begaimana subyek berpikir, hidup, dan berperilaku. Tentu saja perlu dipilih peristiwa yang unik yang jarang teramati oleh kebanyakan orang.
Penelitian etnografi adalah kegiatan pengumpulan bahan kete¬rangan atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat. Berbagai peristiwa dan kejadian unik dari komunitas budaya akan menarik perhatian peneliti etnografi. Peneliti justru lebih banyak belajar dari pemilik kebudayaan, dan sangat respek pada cara mereka belajar tentang budaya. Itulah sebabnya pengamatan terlibat menjadi penting dalam aktivitas penelitian.
Model etnografi cenderung mengarah ke kutub induktif, kon¬struktif, transferabilitas, dan subyektif. Kecuali itu, juga lebih mene¬kankan idiografik, dengan cara mendeskripsikan budaya dan tradisi yang ada. Etnografi pada dasarnya lebih memanfaatkan teknik pengumpulan data pengamatan berperan serta (partisipant observa-tion). Hal ini sejalan dengan pengertian istilah etnografi yang berasal dari kata ethno (bangsa) dan graphy (menguraikan atau menggam¬barkan). Etnografi merupakan ragam pemaparan penelitian budaya untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati dalam kehidupan sehari-hari.
Etnografi lazimnya bertujuan untuk menguraikan budaya tertentu secara holistik, yaitu aspek budaya baik spiritual maupun material. Dari sini akan terungkap pandangan hidup dari sudut pandang penduduk setempat. Hal ini cukup bisa, dipahami, karena melalui etnografi akan mengangkat keberadaan ‘ senyatanya dari fenomena budaya. Dengan demikian akan ditemukan makna tindakan budaya suatu komunitas yang diekspresikan melalui apa saja.
Ciri-ciri penelitian etnografi adalah analisis data yang dilakukan secara holistik, bukan parsial. Ciri-ciri lain seperti dinyatakan Hutomo (Sudikan, 2001:85-86) antara lain:
a) sumber data bersifat ilmiah, artinya peneliti harus memahami gejala empirik (kenyataan) dalam kehidupan sehari-hari
b) peneliti sendiri merupakan instrumen yang paling penting dalam pengumpulan data
c) bersifat pemerian (deskripsi), artinya, mencatat secara teliti fenomena budaya yang dilihat, dibaca, lewat apa pun termasuk dokumen resmi, kemudian mengkombinasikan, mengabstrakkan, dan menarik kesimpulan
d) digunakan untuk memahami bentuk-bentuk tertentu (shaping), atau studi kasus
e) analisis bersifat induktif
f) di lapangan, peneliti harus berperilaku seperti masyarakat yang ditelitinya
g) data dan informan harus berasal dari tangan pertama;
h) kebenaran data harus dicek dengan dengan data lain (data lisan dicek dengan data tulis)
i) orang yang dijadikan subyek penelitian disebut partisipan (buku termasuk partisipan juga), konsultan, serta teman sejawat
j) titik berat perhatian harus pada pandangan emik, artinya, peneliti harus menaruh perhatian pada masalah penting yang diteliti dari orang yang diteliti, dan bukan dari etik
k) dalam pengumpulan data menggu¬nakan purposive sampling dan bukan probabilitas statistic
l) dapat menggunakan data kualitatif maupun kuantitatif, namun sebagian besar menggunakan kualitatif.
Dari ciri-ciri tersebut, dapat dipahami bahwa etnografi merupa¬kan model penelitian budaya yang khas. Etnografi memandang budaya bukan semata-mata sebagai produk, melainkan proses.
Hal ini sejalan dengan konsep Marvin Harris (1992:19) bahwa kebudayaan akan menyangkut nilai, motif, peranan moral etik, dan maknanya sebagai sebuah sistem sosial. Kebudayaan tidak hanya cabang nilai, melainkan merupakan keseluruhan institusi hidup manusia. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan hasil belajar manusia termasuk di dalamnya tingkah laku. Karena itu, menurut Spradley (1997:5) etno¬grafi harus menyangkut hakikat kebudayaan, yaitu sebagai pengeta¬huan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpreta¬sikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial. Itulah sebabnya etnografi akan mengungkap seluruh tingkah laku sosial budaya melalui deskripsi yang holistik.
2) Deskripsi Mendalam
Penentuan sampel pada penelitian kualitatif model etnografik, ada lima jenis yaitu:
a) seleksi sederhana,artinya seleksi hanya menggunakan satu kriteria saja, misalkan kriteria umur atau wilayah subyek
b) seleksi komprehensif, artinya seleksi bedasarkan kasus, tahap, dan unsur yang relevan
c) seleksi quota, seleksi apabila populasi besar jumlahnya, untuk itu populasi dijadikan beberapa kelompok misalnya menurut pekerjaan dan jenis kelamin
d) seleksi menggunakan jaringan, seleksi menggunakan informasi dari salah satu warga pemilik budaya
e) seleksi dengan perbandingan antarkasus, dilakukan dengan membandingkan kasus-kasus yang ada, sehingga diperoleh ciri-ciri tertentu, misalnya yang teladan, dan memiliki pengalaman khas.
Dari lima cara tersebut, peneliti budaya model etnografi dapat memilih salah satu yang paling relevan dengan fenomena yang dihadapi. Namun demikian, menurut pertimbangan penulis, seleksi
secara komprehensif dipandang lebih akurat dibanding empat kriteria seleksi yang lain. Melalui seleksi secara komprehensif, peneliti akan mampu menentukan langkah yang tepat sejalan dengan apa yang diteliti. Yang lebih penting lagi, jika harus mengambil sampel, sebailrnya dilakukan secara pragmatik dan bukan secara acak. Peneliti perlu tahu konteks masyarakat yang diteliti, tanpa membawa prakonsep atau praduga atau teori yang dimilikinya. Peneliti etnogragi juga perlu mempertimbangkan aspek-aspek lain yang mungkin belum terkover dalam unsur-unsur budaya tersebut. Kecuali itu, peneliti juga perlu menggunakan skala prioritas. Artinya, unsur mana yang menjadi titik perhatian, itulah yang dikemukakan lebih dahulu, sedangkan unsur lain hanya penyerta.
Pelukisan etnografi dilakukan secara tick deskription (deskripsi tebal dan mendalam). Namun demikian, tebal di sini lebih merupakan formulasi ke arah deskripsi yang mendalam, sehingga lukisan lebih berarti, bukan sekedar data yang ditumpuk. Memang etnografi bercirikan kelengkapan data, namun pembahasan juga mengandalkan akal sehat. Peneliti berusaha menangkap sepenuh mungkin informasi budaya menurut perspektif orang yang diteliti. Penelitian etnografi sering diasumsikan sebagai penelitian yang relatif lama, peneliti harus tinggal pada salah satu tempa, beradaptasi, dan seterusnya. Hal ini memang ideal dilakukan, namun masalah waktu sebenarnya sangat relatif.
Bahan-bahan etnografi berasal dari masyarakat yang disusun secara deskriptif. Deskripsi data diharapkan secara menyeluruh, menyangkut berbagai aspek kehidupan untuk meninjau salah satu aspek yang diteliti. Deskripsi dipandang bersifat etnografis apabila mampu melukiskan fenomena budaya selengkap-lengkapnya. Des¬kripsi etnografi menurut Koentjaraningrat (1990:333) sudah baku, yaitu meliputi unsur-unsur kebudayaan secara universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian dan sistem religi. Namun demikian, deskripsi semacam ini tidak harus dipenuhi semua. Sebab, ini lebih didasarkan pada unsur kebudayaan secara universal, dan kalau peneliti ingin menyederhanakan pun sebenarnya tidak dilarang. Peneliti boleh saja mengungkapkan sub bab tertentu ayng dipandang spesifik dan langsung pada sasaran. Yang penting deskripsi menyeluruh dapat tercapai.
Penetapan setting model etnografi memerlukan strategi khusus, yaitu:
a) jadilah praktisi, artinya setting tidak perlu terlalu luas dan terlalu sempit, yang penting mampu mewakili fenomena
b) upayakan tempat yang asing dari peneliti, hal ini untuk lebih mampu mengambil jarak dalam penelitian, tetapi juga memperhatikan kemudahan masuk tidaknya ke dalam setting
c) ketiga, jangan terlalu berpegang kaku pada rencana peneliti, rencana bisa berubah setelah di lapangan
d) pikirkan sejumlah topik yang sulit dijangkau.
Dalam kaitan itu, pelukisan etnografi mengenal dua desain penelitian yaitu:
1. studi kasus dan
2. multiple site and subject studies.
Penerapan studi kasus akan mencari keunikan budaya pada wilayah tertentu. Penyimpangan-penyimpangan budaya yang merupa¬kan kasus spesial dan menarik, akan menjadi sorotan peneliti. Sedang¬kan desain multiple site and subject studies cenderung untuk meneliti budaya dalam skup luas. Peneliti dapat melukiskan budaya tertentu pada berbagai tempat. Dari dua desain demikian, dapat dinyatakan bahwa etnografi adalah salah satu model penelitian budaya yang mengangkat hal-hal khusus. Kekhususan penelitian budaya adalah pada kemampuan memanfaatkan model etnografi sedetail mungkin
3. Langkah-langkah Etnografer
Sebagai sebuah model, tentu saja etnografi memiliki karakte¬ristik dan langkah-langkah tersendiri.Langkah yang dimaksud adalah seperti dikemukakan Spradley (1997) dalam buku Metode Etnografi, sebagai berikut:
1. Menetapkan informan. Ada lima syarat minimal untuk memilih informan, yaitu:
a) enkulturasi penuh, artinya mengetahui budaya miliknya dengan baik
b) keterlibatan langsung, artinya
c) suasana budaya yang tidak dikenal, biasanya akan semakin menerima tindak budaya sebagaimana adanya, dia tidak akan basa-basi
d) memiliki waktu yang cukup
e) non-analitis. Tentu saja, lima syarat ini merupakan idealisme, sehingga kalau peneliti kebetulan hanya mampu memenuhi dua sampai tiga syarat pun juga sah-sah saja. Apalagi, ketika memasuki lapangan, peneliti juga masih menduga¬duga siapa yang pantas menjadi informan yang tepat sesuai pene¬litiannya.
2. Melakukan wawancara kepada informan. Sebailrnya dilakukan dengan wawancara yang penuh persahabatan. Pada saat awal wawancara perlu menginformasikan tujuan, penjelasan etno¬grafis (meliputi perekaman, model wawancara, waktu dan dalam suasana bahasa asli), penjelasan pertanyaan (meliputi pertanyaan deskriptif, struktural, dan kontras). Wawancara hendaknya jangan sampai menimbulkan kecurigaan yang berarti pada informan.
3. Membuat catatan etnografis. Catatan dapat berupa laporan ringkas, laporan yang diperluas, jurnal lapangan, dan perlu diberikan analisis atau interpretasi. Catatan ini juga sangat fleksibel, tidak harus menggunakan kertas ini itu atau buku ini itu, melainkan cukup sederhana saja. Yang penting, peneliti bisa mencatat jelas ten¬tang identitas informan.
4. Mengajukan pertanyaan deskriptif. Pertanyaan ini digunakan untuk merefleksikan setempat. Pada saat mengajukan pertanyaan, bisa dimulai dari keprihatinan, penjajagan, kerja sama, dan partispasi. Penjajagan bisa dilakukan dengan prinsip: membuat penjelasan berulang, menegaskan kembali yang dikatakan informan, dan jangan mencari makna melainkan kegunaannya.
5. Melakukan analisis wawancara etnografis. Analisis dikaitkan dengan simbol dan makna yang disampaikan informan. Tugas peneliti adalah memberi sandi simbol-simbol budaya serta mengidentifikasikan aturan-aturan penyandian dan mendasari.
6. Membuat analisis domain. Peneliti membuat istilah pencakup dari apa yang dinyatakan informan. Istilah tersebut seharus¬nya memiliki hubungan semantis yang jelas. Contoh domain, cara¬cara untuk melakukan pendekatan yang berasal dari pertanyaan: “apa saja cara untuk melakukan pendekatan”.
7. Mengajukan pertanyaan struktural. Yakni, pertanyaan untuk melengkapi pertanyaan deskriptif. Misalkan, orang tuli menggu¬nakan beberapa cara berkomunikasi, apa saja itu?
8. Membuat analisis taksonomik. Taksonomi adalah upaya pemfokusan pertanyaan yang telah diajukan. Ada lima langkah penting membuat taksonomi, yaitu: (a) pilih sebuah domain analisis taksonomi, misalkan jenis penghuni penjara (tukang peluru, tukang sapu, pemabuk, petugas elevator dll.), (b) identifikasi kerangka substitusi yang tepat untuk analisis, (c) cari subset di antara beberapa istilah tercakup, misalkan kepala tukang kunci: tukang kunci, (d) cari domain yang lebih besar, (f) buatlah taksonomi sementara.
9. Mengajukan pertanyaan kontras. Kita bisa menga¬jukan pertanyaan yang kontras untuk mencari makna yang berbeda, seperti wanita, gadis, perempuan, orang dewasa, simpanan, dan sebagainya.
10. Analisis komponen sebaiknya dilakukan ketika dan setelah di lapangan. Hal ini untuk menghindari manakala ada hal-hal yang masih perlu ditambah, segera dilakukan wawancara ulang kepada informan.
11. Kesebelas, menemukan tema-tema budaya. Penentuan tema budaya ini boleh dikatakan merupakan puncak analisis etnografi. Keberhasilan seorang peneltii dalam menciptakan tema budaya, berarti keberhasilan dalam penelitian. Tentu saja, akan lebih baik justru peneliti mampu mengungkap tema-tema yang orisinal, dan bukan tema-tema yang telah banyak dikemukakan peneliti sebelum¬nya.
12. Menulis etnografi. Menulis etnografi sebaiknya dilakukan secara deskriftif, dengan bahasa yang cair dan lancar. Jika kemungkinan harus berceritera tentang suatu fenomena, sebailrnya dilukiskan yang enak dan tidak membosankan pembaca.
Penentuan informan kunci juga penting dalam penelitian etnografi. Informan kunci dapat ditentukan menurut konsep Benard (1994:166) yaitu orang yang dapat berceritera secara mudah, paham terhadap informasi yang dibutuhkan, dan dengan gembira memberikan informasi kepada peneliti. Informan kunci adalah orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan terhormat dan berpengetahuan dalam langkah awal penelitian. Orang semacam ini sangat dibutuhkan bagi peneliti etnografi. Orang tersebut diperlukan untuk membukan jalan (gate keeper) peneliti berhubungan dengan responden, dapat juga berfungsi sebagai pemberi ijin, pemberi data, penyebar ide, dan perantara. Bahkan, akan lebih baik apabila informan kunci mau memperkenalkan peneliti kepada responden, agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Bagi peneliti memang tidak mudah menentukan informan kunci. Karena itu, berbagai hal perlu dipertimbangkan agar jendela dan pintu masuk peneliti semakin terbuka dan peneliti mudah dipercaya oleli responden. Pertimbangan yang harus dilakukan dalam menentukan informan kunci, antara lain:
a) orang yang bersangkutan memiliki pengalaman pribadi tentang masalah yang diteliti,
b) usia telah dewasa,
c) sehat jasmani rohani,
d) bersikap netral, tidak memiliki kepentingan pribadi, dan
e) berpengetahuan luas. Pada saat etnografer ke lapangan, mengambil data, mereka akan mendengarkan dan mengamati langsung maupun berperan serta, lalu mengambil keksimpulan. Setiap langkah pengambilan data akan disertai pengam¬bilan kesimpulan sementara.
Pemilihan informan kunci ada strategi khusus, antara lain dapat melalui empat macam cara, sebagai berikut:
a) Secara insidental, artinya peneliti menemui seseorang yang sama sekali belum diketahui pada salah satu wilayah penelitian. Tentu cara semacam ini kurang begitu menguntungkan, tetapi tetap strategis dilakukan. Peneliti bisa menyamar sebagai pembeli atau penjual tertentu ke suatu wilayah. Yang penting, sikap dan perilaku peneliti tidak menimbulkan kecurigaan
b) Menggunakan modal orang-orang yang telah dikenal sebelumnya. Peneliti berusaha menghubungi beberapa orang, mungkin melalui orang terdekat. Cara ini dipandang lebih efektif, karena peneliti bisa mengemukakan maksudnya lebih leluasa. Melalui orang dekat tersebut, peneliti bisa meyakinkan bahwa penelitiannya akan dihargai
c) Sistem quota, artinya innforman kunci telah dirumuskan krite¬rianya, misalkan ketua organisasi, ketua RT, dukun dan seba¬gainya.
d) Secara snowball, artinya informan kunci dimulai dengan jumlah kecil (satu orang), kemudian atas rekomendasi orang tersebut, informan kunci menjajdi semakin besar sampai jumlah tertentu. Informan akan berkembang terus, sampai memperoleh data jenuh.
Dari cara-cara tersebut, peneliti dapat memilih salah satu yang paling cocok. Pemilihan didasarkan pada aspek kemudahan peneliti
Memasuki setting dan pengumpulan data. Jika cara yang telah ditem¬puh gagal, peneliti boleh juga menggunakan cara yang lain sampai diperoleh data yang mantap.
0 Comments