adalah perubahan sosial dan
kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok
kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat
direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa
kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya
relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. Misalnya revolusi
industri di Inggris yang memakan waktu puluhan tahun, namun dianggap 'cepat'
karena mampu mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat —seperti sistem
kekeluargaan dan hubungan antara buruh dan majikan— yang telah berlangsung
selama ratusan tahun. Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan,
menjebol, dan membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali
baru. Revolusi senantiasa berkaitan dengan dialektika, logika, romantika,
menjebol dan membangun.
Dialektika revolusi mengatakan bahwa
revolusi merupakan suatu usaha menuju perubahan menuju kemaslahatan rakyat yang
ditunjang oleh beragam faktor, tak hanya figur pemimpin, namun juga segenap
elemen perjuangan beserta sarananya. Logika revolusi merupakan bagaimana
revolusi dapat dilaksanakan berdasarkan suatu perhitungan mapan, bahwa revolusi
tidak bisa dipercepat atau diperlambat, ia akan datang pada waktunya.
Kader-kader revolusi harus dibangun sedemikian rupa dengan kesadaran kelas dan
kondisi nyata di sekelilingnya. Romantika revolusi merupakan nilai-nilai dari
revolusi, beserta kenangan dan kebesarannya, di mana ia dibangun. Romantika ini
menyangkut pemahaman historis dan bagaimana ia disandingkan dengan pencapaian
terbesar revolusi, yaitu kemaslahatan rakyat. Telah banyak tugu peringatan dan
museum yang melukiskan keperkasaan dan kemasyuran ravolusi di banyak negara
yang telah menjalankan revolusi seperti yang terdapat di Vietnam, Rusia, China,
Indonesia, dan banyak negara lainnya. Menjebol dan membangun merupakan bagian
integral yang menjadi bukti fisik revolusi. Tatanan lama yang busuk dan
menyesatkan serta menyengsarakan rakyat, diubah menjadi tatanan yang besar
peranannya untuk rakyat, seperti di Bolivia, setelah Hugo Chavez menjadi
presiden ia segera merombak tatanan agraria, di mana tanah untuk rakyat sungguh
diutamakan yang menyingkirkan dominasi para tuan tanah di banyak daerah di
negeri itu.
volusi pada dasarnya berarti proses
perubahan dalam jangka waktu tertentu. Dalam konteks biologi modern, evolusi
berarti perubahan sifat-sifat yang diwariskan dalam suatu populasi organisme
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sifat-sifat yang menjadi dasar dari
evolusi ini dibawa oleh gen yang diwariskan pada keturunan suatu makhluk hidup.
Sifat baru dapat diperoleh dari perubahan gen oleh mutasi, transfer gen antar
populasi, seperti dalam migrasi, atau antar spesies seperti yang terjadi pada
bakteria, serta kombinasi gen mealui reproduksi seksual. Meskipun teori evolusi
selalu diasosiasikan dengan Charles Darwin, namun sebenarnya biologi evolusi
telah berakar sejak jaman Aristoteles. Namun demikian, Darwin adalah ilmuwan
pertama yang mencetuskan teori evolusi yang telah banyak terbukti mapan
menghadapi pengujian ilmiah. Sampai saat ini, teori Darwin tentang evolusi yang
terjadi karena seleksi alam dianggap oleh mayoritas masyarakat sains sebagai
teori terbaik dalam menjelaskan peristiwa evolusi.
Sumber: Dari
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
a. Pendahuluan
Dalam suatu
proses modernisasi, suatu proses perubahan yang direncanakan, melibatkan semua
kondisi atau nilai-nilai sosial dan kebudayaan secara integratif. Atas dasar
ini, semua fihak, apakah tokoh ? Tokoh masyarakat, formal atau non-formal,
anggota masyarakat lainnya, apakah dalam skala individual atau pun dalam skala
kelompok, seyogianya memahami dan menyadari, bahwa, manakala salah satu aspek
atau unsur sosial atau kebudayaan mengalami perubahan, maka unsur-unsur lainnya
mesti menghadapi dan mengharmonisikan kondisinya dengan unsur-unsur lain yang
telah berubah terlebih dulu.
Oleh karena
itu mesti memahami dan menyadari bahwa sistem nilai yang berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan ada yang berkualifikasi norma (norm) dan
nilai (value). Di mana norma skala keberlakuannya tergantung pada aspek waktu,
ruang (tempat, dan kelompok sosial yang bersangkutan; sedangkan nilai (value)
skala keberlakuannya lebih universal. Dalam tatanan masyarakat yang maju
atau modern, maka nilai-nilai sosial dan kultural yang bersifat universal
mendominasi dan mengisi semua mosaik kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
b. Orientasi Perubahan
Yang
dimaksudkan orientasi atau arah perubahan di sini meliputi beberapa orientasi,
antara lain (1) perubahan dengan orientasi pada upaya meninggalkan
faktor-faktor atau unsur-unsur kehidupan sosial yang mesti ditinggalkan atau
diubah, (2) perubahan dengan orientasi pada suatu bentuk atau unsur yang memang
bentuk atau unsur baru, (3) suatu perubahan yang berorientasi pada
bentuk, unsur, atau nilai yang telah eksis atau ada pada masa
lampau. Tidaklah jarang suatu masyarakat atau bangsa yang selain berupaya
mengadakan proses modernisasi pada berbagai bidang kehidupan, apakah aspek
ekonomis, birokrasi, pertahanan keamanan, dan bidang iptek; namun demikian,
tidaklah luput perhatian masyarakat atau bangsa yang bersangkutan untuk
berupaya menyelusuri, mengeksplorasi, dan menggali serta menemukan unsur-unsur
atau nilai-nilai kepribadian atau jatidiri sebagai bangsa yang
bermartabat.
Tidaklah
jarang, bahwa tokoh-tokoh dan ungkapan-ungkapan yang bernuansa seni sastra pada
masa lampau, baik suatu fenomena yang bernuansa imajinasi, yang ditampilkan
oleh berbagai bentuk ceritera rakyat atau folklore. Semuanya lazim
menyadarkan atau menampilkan nilai-nilai keteladanan, baik dalam aspek gagasan,
aspek pengorganisasian dan kegiatan sosial, maupun dalam aspek-aspek kebendaan.
Aspek-aspek ini senantiasa dimuati oleh nilai-nilai kearifan dan kebijakan yang
memberikan acuan bagaimana orang mesti berfikir, berasa, berkarsa dan
berkarya dalam upaya bertanggung jawab pada dirinya, pada sesamanya,
dan pada lingkungannya, serta pada Sang Khalik Yang Maha
Murbeng Alam ini. Nilai-nilai seperti inilah yang menjadi
nuansa-nuansa dalam membagun kepribadian atau jatidiri sebagian besar
masyarakat atau suatu kelompok bangsa dimanapun mereka berada.
Dalam
memantapkan orientasi suatu proses perubahan, ada beberapa faktor yang
memberikan kekuatan pada gerak perubahan tersebut, yang antara lain adalah
sebagai berikut, (1) suatu sikap, baik skala individu maupun skala kelompok, yang
mampu menghargai karya pihak lain, tanpa dilihat dari skala besar atau kecilnya
produktivitas kerja itu sendiri, (2) adanya kemampuan untuk mentolerir adanya
sejumlah penyimpangan dari bentuk-bentuk atau unsur-unsur rutinitas, sebab pada
hakekatnya salah satu pendorong perubahan adanya individu-individu yang
menyimpang dari hal-hal yang rutin. Memang salah satu ciri yang hakiki dari
makhluk yang disebut manusia itu adalah sebagai makhluk yang disebut homo
deviant, makhluk yang suka menyimpang dari unsur-unsur rutinitas, (3)
mengokohkan suatu kebiasaan atau sikap mental yang mampu memberikan penghargaan
(reward) kepada pihak lain (individual, kelompok) yang berprestasi dalam berinovasi,
baik dalam bidang sosial, ekonomi, dan iptek, (4) adanya atau tersedianya
fasilitas dan pelayanan pendidikan dan pelatihan yang memiliki spesifikasi dan
kualifikasi progresif, demokratis, dan terbuka bagi semua fihak yang
membutuhkannya.
Precedent dari suatu
proses perubahan sosial tidak mesti diorientasikan pada isu kemajuan atau progress
semata, sebab tidaklah mustahil bahwa proses perubahan sosial itu justru
mengarah ke isu kemunduran atau kearah suatu regress, atau mungkin
mengarah pada suatu degradasi pada sejumlah aspek atau nilai kehidupan
dalam masyarakat yang bersangkutan. Suatu proses regresi atau kemunduran dan
degradasi (luntur atau berkurangnya suatu derajat atau kualifikasi
bentuk-bentuk atau niali-nilai dalam masyarakat), tidak hanya suatu arah atau
orientasi perubahan secara linier, tetapi tidak jarang terjadi karena justru
sebagai dampak sampingan dari keberhasilan suatu proses perubahan. Sebagai
contoh perubahan aspek iptek, dari iptek yang bersahaja ke iptek yang modern
(maju), mungkin menimbulkan kegoncangan-kegoncangan pada unsur-unsur atau
nilai-nilai yang tengah berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, yang sering
disebut sebagai culture-shock atau kejutan-kejutan budaya yang terjadi
pada tatanan kehidupan suatu masyarakat yang tengah menghadapi berbagai
perubahan.
c.
Modernisasi Sebagai Kasus Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Modernisasi,
menunjukkan suatu proses dari serangkaian upaya untuk menuju atau menciptakan
nilai-nilai (fisik, material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi
universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya suka dipertentangkan dengan
nilai-nilai tradisi. Modernisasi berasal dari kata modern (maju), modernity
(modernitas), yang diartikan sebagai nilai-nilai yang keberlakuan dalam aspek
ruang, waktu, dan kelompok sosialnya lebih luas atau universal, itulah
spesifikasi nilai atau values. Sedangkan yang lazim
dipertentangkan dengan konsep modern adalah tradisi, yang berarti
barang sesuatu yang diperoleh seseorang atau kelompok melalui proses pewarisan
secara turun temurun dari generasi ke generasi. Umumnya tradisi meliputi
sejumlah norma (norms) yang keberlakuannya tergantung pada (depend on)
ruang (tempat), waktu, dan kelompok (masyarakat) tertentu. Artinya
keberlakuannya terbatas, tidak bersifat universal seperti yang berlaku bagi
nilai-nilai atau values. Sebagai contoh atau kasus, seyogianya
manusia mengenakkan pakaian, ini merupakan atau termasuk kualifikasi
nilai (value). Semua fihak cenderung mengakui dan menganut nilai atau
value ini. Namun, pakaian model apa yang harus dikenakan itu? Perkara
model pakaian yang disukai, yang disenangi, yang biasa dikenakan, itulah yang
menjadi urusan norma-norma yang dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, dan
dari kelompok ke kelompok akan lebih cenderung beraneka ragam.
Spesifikasi
norma-norma dan tradisi bila dilihat atas dasar proses modernisasi adalah
sebagai berikut, (1) ada norma-norma yang bersumber dari tradisi itu, boleh
dikatakan sebagai penghambat kemajuan atau proses modernisasi, (2) ada pula
sejumlah norma atau tradisi yang memiliki potensi untuk dikembangkan, disempurnakan,
dilakukan pencerahan, atau dimodifikasi sehingga kondusif dalam menghadapi
proses modernisasi, (3) ada pula yang betul-betul memiliki konsistensi dan
relevansi dengan nilai-nilai baru. Dalam kaitannya dengan modernisasi
masyarakat dengan nilai-nilai tradisi ini, maka ditampilkan spesifikasi atau
kualifikasi masyarakat modern, yaitu bahwa masyarakat atau orang yang tergolong
modern (maju) adalah mereka yang terbebas dari kepercayaan terhadap tahyul.
Konsep modernisasi digunakan untuk menamakan serangkaian perubahan yang terjadi
pada seluruh aspek kehidupan masyarakat tradisional sebagai suatu upaya
mewujudkan masyarakat yang bersangkutan menjadi suatu masyarakat industrial.
Modernisasi menunjukkan suatu perkembangan dari struktur sistem sosial, suatu bentuk
perubahan yang berkelanjutan pada aspek-aspek kehidupan ekonomi, politik,
pendidikan, tradisi dan kepercayaan dari suatu masyarakat, atau satuan sosial
tertentu.
Modernisasi
suatu kelompok satuan sosial atau masyarakat, menampilkan suatu pengertian yang
berkenaan dengan bentuk upaya untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sadar
dan kondusif terhadap tuntutan dari tatanan kehidupan yang semakin meng-global
pada saat kini dan mendatang. Diharapkan dari proses menduniakan seseorang atau
masyarakat yang bersangkutan, manakala dihadapkan pada arus globalisasi tatanan
kehidupan manusia, suatu masyarakat tertentu (misalnya masyarakat Indonesia)
tidaklah sekedar memperlihatkan suatu fenomena kebengongan semata,
tetapi diharapkan mampu merespons, melibatkan diri dan memanfaatkannya secara
signifikan bagi eksistensi bagi dirinya, sesamanya, dan lingkungan sekitarnya.
Adapun spesifikasi sikap mental seseorang atau kelompok yang kondusif untuk
mengadopsi dan mengadaptasi proses modernisasi adalah, (1) nilai budaya atau
sikap mental yang senantiasa berorientasi ke masa depan dan dengan cermat
mencoba merencanakan masa depannya, (2) nilai budaya atau sikap mental yang
senantiasa berhasrat mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber
daya alam, dan terbuka bagi pengembangan inovasi bidang iptek. Dalam hal ini,
memang iptek bisa dibeli, dipinjam dan diambil alih dari iptek produk asing,
namun dalam penerapannya memerlukan proses adaptasi yang sering lebih rumit
daripada mengembangkan iptek baru, (3) nilai budaya atau sikap mental yang siap
menilai tinggi suatu prestasi dan tidak menilai tinggi status sosial,
karena status ini seringkali dijadikan suatu predikat yang bernuansa gengsi
pribadi yang sifat normatif, sedangkan penilai obyektif hanya bisa didasarkan
pada konsep seperti apa yang dikemukakan oleh D.C. Mc Clelland
(Koentjaraningrat, 1985), yaitu achievement-oriented, (4) nilai budaya
atau sikap mental yang bersedia menilai tinggi usaha fihak lain yang mampu
meraih prestasi atas kerja kerasnya sendiri.
Tanpa harus
suatu masyarakat berubah seperti orang Barat, dan tanpa harus bergaya hidup
seperti orang Barat, namun unsur-unsur iptek Barat tidak ada salahnya untuk
ditiru, diambil alih, diadopsi, diadaptasi, dipinjam, bahkan dibeli. Manakala
persyaratan ini telah dipenuhi dan keempat nilai budaya atau sikap mental yang
telah ditampilkan telah dimiliki oleh suatu masyarakat tersebut. Khusus untuk
masyarakat di Indonesia, sejarah masa lampau mengajarkan bahwa sistem ekonomi,
politik, dan kebudayaan dari kerajaan-kerajaan besar di Asia seperti India dan
Cina, yang diadopsi dan diadaptasi oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara ini,
seperti Sriwijaya dan Majapahit, namun fakta sejarah tidak membuktikan
bahwa orang-orang Sriwijaya dan Majapahit, dalam pengadopsian dan
pengadaptasian nilai-nilai kebudayaan tadi sekaligus menjadi orang India atau
Cina.
Proses
modernisasi sampai saat ini masih tampak dimonopoli oleh masyarakat perkotaan
(urban community), terutama di kota-kota Negara Sedang Berkembang,
seperti halnya di Indonesia. Kota-kota di negara-negara sedang berkembang
menjadi pusat-pusat modernisasi yang diaktualisasikan oleh berbagai bentuk
kegiatan pembangunan, baik aspek fisik-material, sosio-kultural, maupun aspek
mental-spiritual. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini, menjadikan daerah
perkotaan sebagai daerah yang banyak menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi
penduduk pedesaan, terutama bagi generasi mudanya. Obsesi semacam ini menjadi
pendorong kuat bagi penduduk pedesaan untuk beramai-ramai membanjiri dan
memadati setiap sudut daerah perkotaan, dalam suatu proses sosial yang disebut urbanisasi.
Fenomena demografis seperti ini, selanjutnya menjadi salah satu sumber
permasalahan bagi kebijakan-kebijakan dalam upaya penataan ruang dan kehidupan
masyarakat perkotaan. Sampai dengan saat sekarang ini masalah perkotaan ini
masih menunjukkan gelagat yang semakin ruwet dan komplek
0 Comments