adalah penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an yang didasarkan dan mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang lain, Sunnah
yang tertuang dalam hadits-hadits Nabi, pendapat Shahabat dan Tabi’in. Namun terdapat perbedaan dalam pengkategorian
pendapat tabi’in sebagai tafsir bil-ma’tsur karena ada indikasi bahwa
pendapat tabi’in banyak telah terkooptasi oleh akal berbeda dengan pendapat
shahabat yang dimungkinkan untuk mengetahui penafsiran suatu ayat berdasarkan
petunjuk Nabi. Selain itu shahabat juga menyertai Nabi pada saat turunnya
sebagian ayat sehingga mereka lebih mengetahui asbab an-Nuzul sebuah ayat.
Tafsir ini merupakan salah satu
jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah khazanah intelaktual
Islam. Sedikit sekali terjadi perbedaan pendapat dalam produk-produk
penafsirannya. Sebagian besar perbedaan yang ditemukan adalah pada aspek
pemahaman redaksional terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Ini disebabkan relativitas
kualitas intelektual shahabat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an tersebut sehingga wajar ditemukan perbedaan. Sebagai
sebuah contoh dalam Mabahits fi Ulum al-Qur’an, seorang mufassir pada
masa itu mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan
redaksi mufassir yang lain dan masing-masing redaksi itu menunjuk makna yang
juga berbeda namun maksud semuanya adalah sama. Seperti penafsiran terhadap
kata shirat al-mustaqim, sebagian menafsirkannya sebagai al-Qur’an dan
sebagian yang lain menafsirkannya dengan Islam. Kedua tafsiran ini berbeda
namun senada karena Islam didasari oleh al-Qur’an hanya saja masing-masing
penafsiran itu menggunakan sifat yang tidak digunakan oleh yang lain.
Secara garis besar, penafsiran pada
masa ini kukuh beracuan pada aspek riwayat-riwayat yang menjelaskan ayat-ayat
al-Qur’an karena dianggap sebagai jalan pengetahuan yang benar dan paling aman
untuk tetap terjaga dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami
al-Qur’an. Namun bukan berarti tidak terjadi ijtihad karena hal ini dapat
dilihat dari sumber-sumber kajian tafsir yang digunakan selain al-Qur’an dan
Sunnah juga menggunakan Ijtihad shahabat dalam beberapa hal yang mutlak
memerlukan ijtihad. Dalam bahasa Quraish Shihab disebut sebagai keterpaksaan
melakukan ijtihad karena Nabi telah wafat. Bahkan ditemukan juga riwayat Ahl
Kitab Yahudi dan Nashrani yang telah
masuk Islam dan hal inilah yang ditengarai sebagai awal kemunculan
Isra’iliyyat.
1. Kelemahan Tafsir bil-ma’tsur
- Banyak ditemukan riwayat-riwayat yang disisipkan oleh orang-orang yahudi dan persi dengan tujuan merusak islam melalui informasi yang tidak dipertanggungjawabkan kebenarannya.
- Banyak ditemukan usaha-usaha penyusupan kepentingan yang dilakukan oleh aliran-aliran yang dianggap menyimpang seperti kaum Syi’ah.
- Tercampur aduknya riwayat-riwayat yang shahih dengan riwayat-riwayat hadits yang sanadnya lemah
- Banyak ditemukan riwayat Isra’iliyyat yang mengandung dongeng-dongeng yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Karya-karya Kitab Tafsir bil-ma’tsur
:
1. Tafsir Ibn Abbas
2. Tafsir Ibn ‘Uyainah
3. Tafsir Ibn Abi Hatim
4. Tafsir Abu Syaikh bin Hibban
5. Tafsir Ibn ‘Atiyyah
6. Tafsir Abu Laits as-Samarqandi
7. Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu wa
al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an
8. Tafsir Ibn Jarir at-Thabari, Jami’ul
Bayan fi Tafsir al-Qur’an
9. Tafsir Ibn Abi Syaibah
10. Tafsir al-Baghawi, Ma’alimu at-Tanzil
11. Tafsir Abil Fida’ al-Hafidz Ibn
Katsir, Tafsir al-Qur’an al-’Adzim
12. Tafsir as-Sa’labi, al-Jawahir
al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an
13. Tafsir Jalaluddin as-Suyuthi,
ad-Duru al-Mansur fi Tafsiri bi al-Ma’tsur
14. Tafsir as-Syaukani, Fath al-Qadir
2. Pengertian Tafsir bir-Ra’yi
Kata al-Ra’y berarti
pemikiran, pendapat dan ijtihad. Sedangkan menurut definisinya, Tafsir bir-ra’yi
adalah penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada pendapat pribadi
mufassir. setelah terlebih dahulu
memahami bahasa dan adat istiadat bangsa Arab. Berijtihad tanpa memperhatikan
penjelasan Nabi sebagai mubayyin maupun penjelasan shahabat-shahabatnya.
Sekilas hal ini jelas akan berimplikasi negatif pada penyimpulan istinbat
terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan karena terkesan sembrono sehingga
sebagian ulama menolak tafsir ini bahkan diantaranya ada yang
mengharamkan.
Tafsir bir-ra’yi muncul sebagai
sebuah jenis tafsir pada periode akhir pertumbuhan tafsir bil-ma’tsur sebagai
periode awal perkembangan tafsir. Pada masa ini Islam semakin maju dan
berkembang, maka berkembanglah berbagai madzhab dan aliran dikalangan umat
Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka
mengembangkan paham mereka. Untuk maksud tersebut mereka mencari
ayat-ayatal-Qur’an dan Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai keyakinan yang
mereka anut.
Meskipun telah terdapat upaya
sebagian Muslim yang menunjukkan bahwa mereka telah melakukan penafsiran dengan
ijtihad, khususnya pada zaman shahabat dan tabi’in sebagai tonggak munculnya
ijtihad namun tidak menutup kemungkinan bahwa sejak zaman Nabi, benih-benih
tafsir bir-ra’yi telah tumbuh dikalangan ummat Islam.
Dalam beberapa literatur disebutkan
bahwa sebenarnya tafsir bir-ra’yi tidak semata-mata didasari penalaran akal,
dengan mengabaikan sumber-sumber riwayat secara mutlak akan tetapi lebih
selektif terhadap riwayat tersebut. Dalam sumber lain Tafsir bir-ra’yi bukan
berarti menafsirkan ayat dengan menggunakan akal seluas-luasnya, tetapi tafsir
yang didasarkan pada pendapat yang mengikuti kaidah-kaidah bahasa Arab yang
bersandar pada sastra jahiliah berupa syair, prosa, tradisi bangsa Arab, dan
ekspresi percakapan mereka serta pada berbagai peristiwa yang terjadi pada masa
Rasul menyangkut perjuangan, perlawanan, pertikaian, hijrah, dan peperangan
yang beliau lakukan selain itu juga menyangkut berbagai fitnah yang pernah
terjadi dan hal-hal yang terjadi saat itu, yang mengharuskan adanya hukum-hukum
dan diturunkannya ayat-ayat al-Quran. Dengan demikian, tafsir bir-ra’yi adalah
tafsir dengan cara memahami berbagai kalimat al-Quran melalui pemahaman yang
ditunjukkan oleh berbagai informasi yang dimiliki seorang ahli tafsir seperti
bahasa dan berbagai peristiwa.
Sebagian ulama menerima tafsir ini
dengan beberapa syarat yang cukup ketat diantaranya :
(a) menguasai bahasa
Arab dan cabang-cabangnya
(b) menguasai
ilmu-ilmu al-Qur’an
(c) berakidah yang
benar
(d) mengetahui prinsip-prinsip pokok agama
Islam dan menguasai ilmu yang
berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan. Dengan
syarat-syarat tersebut diharapkan tidak ada penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Sedikit mendialogkan pro-kontra
seputar penerimaan tafsir bir-ra’yi dikalangan ulama, bahwa kedua pendapat yang
bertentangan itu mungkin hanya merupakan kesalah pahaman dalam istilah ra’y.
Jelas semua ulama sepakat menolak semua jenis penafsiran yang hanya menggunakan
ra’y [pemikiran] saja tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah yang berlaku akan
tetapi mereka menerima ijtihad yang didasari oleh al-Qur’an, Sunnah Nabi serta
kaidah-kaidah yang berlaku. Dengan demikian dapat dipahami bahwa hadirnya
tafsir bir-ra’yi justru merupakan perkembangan signifikan dalam khazanah tafsir
al-Qur’an. Namun tidak mengesampingkan kelemahan yang sedikit telah disinggung
diatas bahwa pada masa ini rentan terhadap penyusupan kepentingan dan politik.
0 Comments